VOC yang semula hanya berbentuk sebagai kongsi atau perserikatan dagang, dalam praktiknya menjelma seperti pemerintah penjajah. Oleh karena itu, di setiap daerah seperti Mataram, Banten, Ambon, Aceh, dan Makassar, banyak terjadi perlawanan rakyat terhadap dominasi VOC tersebut. VOC memberlakukan sistem monopoli perdagangan dan turut mengatur sistem pemerintahan yang berlaku. Penjelajahan samudra untuk mencari daerah baru yang dilakukan oleh bangsa Eropa telah menjadi penjajahan atau kolonialisme. Kolonialisme adalah keinginan suatu bangsa untuk menaklukkan bangsa lain dalam bidang politik, ekonomi, eksploitasi ekonomi, serta penetrasi kebudayaan. Apabila bangsa kolonial itu memiliki berbagai koloni di daerah lain, dan berupaya menyatakan koloninya itu menjadi satu sistem usaha, maka usahanya itu dinamakan imperialisme.
Karena telah terjadi kolonialisme dan imperialisme di tanah air, maka timbullah berbagai bentuk perlawanan di berbagai daerah. Di bawah ini diuraikan beberapa perlawanan rakyat
terhadap kolonialisme yang dilakukan oleh VOC dan Portugis di nusantara.
a. Perlawanan Rakyat Maluku
Setelah Portugis pada tahun 1511 berhasil menduduki Malaka, Portugis melanjutkan misi dagangnya menuju Maluku. Di kepulauan Maluku terdapat Kerajaan Ternate dan Kerajaan Tidore yang menghasilkan remah-rempah. Portugis diperbolehkan mendirikan benteng sebagai kantor dagang. Akan tetapi terjadi penyimpangan, Portugis menjadikan benteng itu sebagai basis pertahanan untuk menguasai dan menjajah daerah Ternate. Portugis memaksa Sultan Ternate, yaitu Sultan Hairun untuk menerima kekuasaan Portugis, dan hanya menjual cengkih dan pala kepada Portugis. Selain itu, Portugis melarang Sultan Ternate menjul rempah-rempahnya kepada pedagang lain. Tentu saja sikap seperti ini sangat ditentang oleh Sultan Hairun. Ketika Sultan Hairun akan membicarakan masalah perdagangan dengan Portugis ini, beliau dibunuh secara licik.
Terbunuhnya, Sultan Hairun jelas memancing kemarahan rakyat Ternate. Sultan Baabullah yang menggantikan Sultan Hairun bersumpah akan mengusir Portugis dari Ternate. Untuk itu, Sultan Baabullah mengerahkan tentara dan segenap kekuatannya mengepung benteng Portugis, hingga akhirnya Portugis menyerah dan dipaksa meninggalkan Ternate tahun 1575. Setelah terusir dari Ternate, kemudian Portugis ke Ambon hingga dikalahkan oleh Belanda pada tahun 1605.
b. Serangan Kerajaan Demak terhadap Portugis di Malaka
Dikuasainya Malaka pada tahun 1511 oleh orang-orang Portugis merupakan ancaman tersendiri bagi Kerajaan Demak. Pada tahun 1512, Kerajaan Demak di bawah pimpinan Pati Unus (Pangeran Sabrang Lor) dengan bantuan Kerajaan Aceh menyerang Portugis di Malaka. Namun, serbuan Demak tersebut mengalami kegagalan. Penyerangan dilakukan sekali lagi bersama Aceh dan Kerajaan Johor, tetapi tetap berhasil dipatahkan oleh Portugis. Perjuangan Kerajaan Demak terhadap orang-orang Portugis tidak berheti sampai di situ. Kerajaan Demak selalu menyerang dan membinasakan setiap kapal dagang Portugis yang melewati jalur Laut Jawa. Karena itulah kapal dagang Portugis yang membawa rempah-rempah dari Maluku (Ambon) tidak melalui Laut Jawa, tetapi melalui Kalimantan Utara.
Upaya Demak untuk mengusir Portugis diwujudkan dengan ditaklukkannya Kerajaan Pajajaran oleh Fatahilah pada tahun 1527. Penaklukkan Pajajaran ini disebabkan Kerajaan Pajajaran mengadakan perjanjian perdagangan dengan Portugis, sehingga Portugis diperbolehkan mendirikan benteng di Sunda Kelapa. Ketika orang-orang Portugis mendatangi Sunda Kelapa (sekarang Jakarta), terjadilah perang antara Kerajaan Demak di bawah pimpinan Fatahilah dengan tentara Portugis. Dalam peperangan itu, orang-orang Portugis berhasil dipukul mundur. Kemudian, pelabuhan Sunda Kelapa diganti namanya oleh Fatahilah menjadi Jayakarta yang berarti kejayaan yang sempurna.
Meskipun Kerajaan Demak berhasil membendung masuknya pengaruh Portugis di Jawa Barat, tetapi gagal ketika mencegah hubungan dagang antara Portugis dengan kerajaan-kerajaan Hindu di daerah Jawa Timur. Bahkan Sultan Trenggono dari tahun 1521 sampai dengan tahun 1546 yang memimpin langsung penyerangan itu gugur di Pasuruan, Jawa Timur.
c. Serangan Kerajaan Aceh terhadap Portugis
Sejak kedatangan orang Portugis di Malaka pada tahun 1511, telah terjadi persaingan yang berbuntut permusuhan antara Portugis dan Kesultanan Aceh. Sultan Aceh pada waktu itu diperintah oleh Sultan Ali Mughayat Syah (1514- 1528), menganggap bahwa orang Portugis merupakan saingan dalam politik, ekonomi, dan penyebaran agama. Untuk itulah, Kesultanan Aceh tetap pada pendiriannya, bahwa Portugis harus segera diusir dari Malaka. Itulah sebabnya, ketika terjadi penyerangan Kerajaan Demak ke Malaka, Aceh membantunya dengan sekuat tenaga.
Sejak Kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636), perjuangan
mengusir Portugis mencapai puncaknya. Untuk mencapai tujuannya, Sultan Iskandar Muda menempuh beberapa cara untuk melumpuhkan kekuatan Portugis, seperti blokade perdagangan. Sultan Aceh melarang daerah-daerah yang dikuasai Aceh menjual lada dan timah kepada Portugis. Cara ini dimaksudkan agar kekuatan Portugis benar-benar lumpuh, karena tidak memiliki barang yang harus dijual di Eropa. Upaya ini ternyata tidak berhasil sepenuhnya, sebab raja-raja kecil yang merasa membutuhkan uang secara sembunyi-sembunyi menjual barang dagangannya kepada Portugis. Gagal dengan taktik blokade ekonomi, Sultan Iskandar Muda menyerang kedudukan Portugis di Malaka pada tahun 1629. Seluruh kekuatan tentara Aceh dikerahkan. Namun, upayaitu mengalami kegagalan. Pasukan Kesultanan Aceh dapat di pukul mundur oleh pasukan Portugis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar