Diplomasi Mempertahankan Kemerdekaan. Untuk mempertahankan kemerdekaan Pemerintah Indonesia mengirimkan kapal perang ke Maluku pada tanggal 3 Maret 1946. Di Bali Resimen Ciung Wanara pimpinan Letkol I Gusti Ngurah Rai yang dikenal sebagai Puputan Margarana. Selain pertempuranpertempuran tersebut, di berbagai daerah terjadi peristiwa heroik seperti pertempuran Surabaya 10 November 1945, Bandung Lautan Api, Pertempuran Yogyakarta, Palagan Ambarawa, dan Peristiwa Medan Area. Selain melakukan perjuangan fisik, pemerintah Indonesia juga menempuh cara diplomasi untuk menghindari korban yang besar dan untuk memperoleh pengakuan internasional. Diplomasi yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia antara lain melalui pertemuan Hoge Veluwe, Perundingan Linggajati, Perundingan Renville, Persetujuan Roem-Royen, dan Konferensi Meja Bundar.
a. Pertemuan Hoge Veluwe
Pertemuan Hoge Veluwe di Belanda pada bulan April 1946 terlaksana dengan perantaraan diplomat Inggris, yaitu Sir Archibald Clark Keer. Dalam pertemuan tersebut, delegasi Indonesia terdiri atas Mr. Suwandi, Dr. Sudarsono, dan Mr. A.K. Pringgodigdo. Belanda diwakili oleh Dr. H.J. van Mook. Namun, pertemuan ini tidak memberikan hasil karena Belanda menolak untuk mengakui secara de facto wilayah RI yang terdiri atas Jawa, Madura, dan Sumatra. Belanda menyodorkan ikatan kenegaraan dengan RI sebagai bagian suatu federasi. Oleh karena belum diperoleh kesepakatan, Indonesia dan Belanda kembali merencanakan perundingan.
b. Perundingan Linggajati
Dengan perantaraan diplomat Inggris, yaitu Lord Killearn, diadakan pertemuan di Istana
Negara dan Pegangsaan Timur 56 antara Indonesia yang diwakili oleh Sutan Sjahrir dengan Belanda di bawah Prof. Schermerhorn. Selanjutnya, perundingan dilanjutkan di Linggajati (daerah pegunungan di Cirebon). Perundingan di Linggajati ini mencapai persetujuan antara lain Belanda mengakui secara de facto RI yang terdiri atas Jawa, Madura, dan Sumatra akan dibentuk negara federal yang dinamakan Republik Indonesia Serikat (RI menjadi salah satu negara bagiannya) dan dibentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai kepala uni.
Negara dan Pegangsaan Timur 56 antara Indonesia yang diwakili oleh Sutan Sjahrir dengan Belanda di bawah Prof. Schermerhorn. Selanjutnya, perundingan dilanjutkan di Linggajati (daerah pegunungan di Cirebon). Perundingan di Linggajati ini mencapai persetujuan antara lain Belanda mengakui secara de facto RI yang terdiri atas Jawa, Madura, dan Sumatra akan dibentuk negara federal yang dinamakan Republik Indonesia Serikat (RI menjadi salah satu negara bagiannya) dan dibentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai kepala uni.
c. Perundingan Renville
Hasil perundingan Linggajati ternyata sulit terlaksana. Bahkan, pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melancarkan Agresi Militer I. Akibatnya, Dewan Keamanan PBB mengirimkan komisi jasa baik yang terdiri atas Australia, Belgia, dan Amerika Serikat sebagai perantara perundingan. Perundingan kembali dilakukan di sebuah kapal milik Amerika Serikat, yang bernama USS Renville. Delegasi Indonesia diketuai Perdana Menteri Amir Syarifudin dan Belanda menempatkan seorang Indonesia bernama R. Abdulkadir Wijoyoatmojo sebagai ketuanya. Hasil perundingan Renville antara lain Belanda tetap berdaulat sampai terbentuknya RIS, RI sejajar kedudukannya dengan Belanda, RI menjadi bagian dari RIS, dan akan diadakan pemilu untuk membentuk Konstituante RIS. Selain itu, tentara Indonesia di daerah Belanda (daerah kantong) harus dipindahkan ke wilayah RI.
d. Perundingan Roem-Royen
Ternyata Belanda melanggar kesepakatan dalam perundingan Renville dan melancarkan Agresi Militer II tanggal 19 Desember 1948. Oleh karena mendapat kecaman dari dunia internasional, Belanda pun menyetujui diadakannya perundingan kembali dengan mengirimkan van Royen sebagai wakilnya. Republik Indonesia menugaskan Moh. Roem sebagai utusan. Perundingan bertempat di Hotel Des Indes pada tanggal 14 April– 7 Mei 1949.
Perundingan Roem-Royen menghasilkan kesepakatan antara lain penghentian perang gerilya, pemimpin-pemimpin RI dikembalikan ke Yogyakarta, Belanda akan menyokong RI untuk menjadi negara bagian RIS dengan memiliki sepertiga suara dalam perwakilan rakyat, dan kedua belah pihak akan ikut dalam Konferensi Meja Bundar.
e. Konferensi Meja Bundar
Konferensi Meja Bundar dilaksanakan di Den Haag, Belanda. Dalam perundingan tersebut delegasi Belanda dipimpin oleh van Marseveen. Delegasi Indonesia dipimpin Drs. Moh. Hatta, untuk delegasi BFO (forum permusyawaratan federal yang terdiri atas negaranegara boneka buatan Belanda) dipimpin oleh Sultan Hamid II. Sidang berlangsung pada tanggal 23 Agustus–2 November 1949. Kesepakatan yang dicapai dalam KMB sebagai berikut.
- Belanda menyerahkan kedaulatannya kepada Indonesia tanpa syarat dan tidak dapat ditarik kembali paling lambat tanggal 30 Desember 1949.
- Indonesia berbentuk negara serikat dan merupakan sebuah uni dengan Belanda.
- Segala hak dan kewajiban Belanda di Indonesia diterima dan dibebankan kepada Indonesia.
- Indonesia dengan Belanda akan mengadakan perjanjian dalam bidang ekonomi, keuangan, dan kebudayaan.
- Irian Barat masih merupakan daerah perselisihan dan akan diselesaikan dalam waktu satu tahun.
Meskipun tidak memuaskan banyak pihak, tetapi itulah hasil optimal yang dapat diperoleh. Akhirnya, pada tanggal 27 Desember 1949 dilakukan penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada RIS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar