Dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, kita dihadapkan dengan sejumlah karakterisktik siswa yang beraneka ragam. Ada siswa yang dapat menempuh kegiatan belajarnya secara lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, namun di sisi lain tidak sedikit pula siswa yang justru dalam belajarnya mengalami berbagai kesulitan. Kesulitan belajar siswa dapat dibuktikan dengan munculnya kelainan perilaku (misbehavior) siswa seperti kesukaan berteriak-teriak di dalam kelas, mengusik teman,berkelahi, sering tidak masuk sekolah, dan sering minggat dari sekolah.
Secara garis besar, faktor-faktor penyebab timbulnya kesulitan belajar terdiri atas 2 macam, yaitu:
a. Faktor Internal
Faktor internal siswa meliputi gangguan atau kekurangmampuan psiko-fisik siswa yakni:
1) Faktor fisiologis
Kondisi fisiologis pada umumnya sangat berperan terhadap kemampuan seseorang. Anak yang dalam keadaan segar jasmaninya akan bebeda belajarnya dengan anak yang ada dalam keadaan lelah. Anak-anak yang kelebihan atau kurang gizi akan mudah cepat lelah, mudah mengantuk sehingga dalam kegiatan belajar akan mengalami kesulitan menerima pelajaran.
2) Faktor psikologis
Adapun yang termasuk faktor psikologis yang mempengaruhi proses belajar antara lain adalah intelegensi, perhatian, bakat, minat, motif, kematangan dan kesiapan.
- Perhatian – Menurut al-Ghazali (2001) dalam Slameto (2003) bahwa perhatian adalah keaktifan jiwa yang dipertinggi jiwa itupun bertujuan semata-mata kepada suatu benda atau hal (objek) atau sekumpulan objek.
- Bakat – Mennurut Hilgard dalam Slameto (2003) bahwa bakat adalah capacity to learn. Dengan kata lain, bakat adalah kemampuan untuk belajar. Kemampuan itu akan terealisasi pencapain kecakapan setelah belajar atau berlatih.
- Minat – Menurut Jersild dan Taisch dalam Nurkencana (1996) bahwa minat adalah menyangkut aktivitas-aktivitas yang dipilih secara bebas oleh individu.
- Motivasi – Menurut Slameto (2003) bahwa motivasi siswa dalam proses belajar mengajar sangat mempengaruhi prestasi belajar siswa. Dengan demikian prestasi belajar siswa dapat berdampak positif bilamana siswa tersebut mempunyai kesiapan dalam menerimasuatu mata pelajaran dengan baik.
b. Faktor Eksternal
Faktor ekstern siswa meliputi semua situasi dan konndisi lingkungan sekitar yang tidak mendukung aktivitas belajar siswa. Faktor ini dibagi tiga macam:
1) Lingkungan keluarga,
Contohnya: ketidakharmonisan antara ayah dengan ibu, suasana rumah, dan rendahnya kehidupan ekonomi keluarga.
2) Lingkungan perkampungan/masyarakat,
Contohnya: wilayah perkampungan dan teman sepermainan yang nakal.
3) Lingkungan sekolah,
Contohnya: kondisi dan letak gedung sekolah yang buruk seperti dekat pasar, kondisi alat-alat belajar yang tidak memadai, metode mengajar guru, relasi guru dengan siswa, disiplin sekolah, dll.
Selain itu juga ditemukan ksulitan belajar siswa yang mencakup dalam pengertian yang luas, diantaranya : (a) learning disorder; (b) learning disfunction; (c) underachiever; (d) slow learner, dan (e) learning diasbilities. Di bawah ini akan diuraikan dari masing-masing pengertian tersebut.
1. Learning Disorder atau kekacauan belajar,
adalah keadaan dimana proses belajar seseorang terganggu karena timbulnya respons yang bertentangan. Pada dasarnya, yang mengalami kekacauan belajar, potensi dasarnya tidak dirugikan, akan tetapi belajarnya terganggu atau terhambat oleh adanya respons-respons yang bertentangan, sehingga hasil belajar yang dicapainya lebih rendah dari potensi yang dimilikinya.
Contoh : siswa yang sudah terbiasa dengan olah raga keras seperti karate, tinju dan sejenisnya, mungkin akan mengalami kesulitan dalam belajar menari yang menuntut gerakan lemah-gemulai.
2. Learning Disfunction,
merupakan gejala dimana proses belajar yang dilakukan siswa tidak berfungsi dengan baik, meskipun sebenarnya siswa tersebut tidak menunjukkan adanya subnormalitas mental, gangguan alat indra, atau gangguan psikologis lainnya.
Contoh : siswa yang yang memiliki postur tubuh yang tinggi atletis dan sangat cocok menjadi atlet bola volley, namun karena tidak pernah dilatih bermain bola volley, maka dia tidak dapat menguasai permainan volley dengan baik.
3. Under Achiever
Under Achiever mengacu kepada siswa yang sesungguhnya memiliki tingkat potensi intelektual yang tergolong di atas normal, tetapi prestasi belajarnya tergolong rendah.
Contoh : siswa yang telah dites kecerdasannya dan menunjukkan tingkat kecerdasan tergolong sangat unggul (IQ = 130 – 140), namun prestasi belajarnya biasa-biasa saja atau malah sangat rendah.
4. Slow Learner
Slow Learner atau lambat belajar adalah siswa yang lambat dalam proses belajar, sehingga ia membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan sekelompok siswa lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang sama.
5. Learning Disabilities
Learning Disabilities atau ketidakmampuan belajar mengacu pada gejala dimana siswa tidak mampu belajar atau menghindari belajar, sehingga hasil belajar di bawah potensi intelektualnya.
Bila diamati, ada sejumlah siswa yang mendapat kesulitan dalam mencapai hasil belajar secara tuntas dengan variasi dua kelompok besar. Kelompok pertama merupakan sekelompok siswa yang belum mencapai tingkat ketuntasan, akan tetapi sudah hampir mencapainya. Siswa tersebut mendapat kesulitan dalam menetapkan penguasaan bagian-bagian yang sulit dari seluruh bahan yang harus dipelajari.
Kelompok yang lain, adalah sekelompok siswa yang belum mencapai tingkat ketuntasan yang diharapkan karena ada konsep dasar yang belum dikuasai. Bisa pula ketuntasan belajar tak bisa dicapai karena proses belajar yang sudah ditempuh tidak sesuai dengan karakteristik murid yang bersangkutan.
Jenis dan tingkat kesulitan yang dialami oleh siswa tidak sama karena secara konseptual berbeda dalam memahami bahan yang dipelajari secara menyeluruh. Perbedaan tingkat kesulitan ini bisa disebabkan tingkat pengusaan bahan sangat rendah, konsep dasar tidak dikuasai, bahkan tidak hanya bagian yang sulit tidak dipahami, mungkin juga bagian yang sedang dan mudah tidak dapat dukuasai dengan baik.
Kesulitan Belajar Matematika
Kesulitan belajar matematika disebut juga diskalkulia (dyscalculia). Istilah diskalkulia memiliki konotasi medis yang memandang adanya keterkaitan dengan gangguan sistem syaraf pusat.
Menurut Lerner (1981: 35), ada beberapa karakteristik anak berkesulitan belajar matematika, yaitu: adanya gangguan dalam hubungan keruangan, abnormalitas persepsi visual, asosiasi visual motor, perseverasi, kesulitan mengenal dan memahami simbol, gangguan penghayatan tubuh, kesulitan dalam bahasa dan membaca, scor Performance IQ jauh lebih rendah dari pada skor verbal IQ.
1. Gangguan hubungan keruangan
Konsep hubungan keruangan seperti atas bawah, puncak dasar, jauh dekat, tinggi rendah, depan belakang, awal akhir umumnya telah dikuasai oleh anak sebelum masuk SD, namun bagi anak berkesulitan belajar matematika memahami konsep-konsep tersebut mengalami kesulitan karena kurang berkomunikasi dan lingkungan sosial kurang mendukung, selain itu juga adanya kondisi intrinsik yang diduga disfungsi otak. Karena adanya gangguan tersebut mungkin anak tidak mampu merasakan jarak angka-angka dan garis bilangan atau penggaris, dan mungkin anak tidak tahu bahwa angka 2 lebih dekat ke angka 3 daripada ke angka 8.
2. Abnormalitas persepsi visual
Anak berkesulitan belajar matematika sering mengalami kesulitan untuk melihat berbagai obyek dalam hubungannya dengan kelompok. Misalnya anak mengalami kesulitan dalam menjumlahkan dua kelompok benda yang terdiri dari tiga dan empat anggota. Anak juga sering tidak mampu membedakan bentuk-bentuk geometri.
3. Asosiasi visual motor
Anak berkesulitan belajar matematika sering tidak dapat berhitung benda-benda secara berurutan, anak mungkin baru memegang benda yang kedua tetapi mengucapkan empat.
4. Perseverasi
Anak yang perhatiannya melekat pada satu obyek dalam jangka waktu relatif lama. Gangguan perhatian semacam itu disebut perseverasi. Pada mulanya anak dapat mengerjakan tugas dengan baik, tetapi lama-kelamaan perhatiannya melekat pada satu obyek saja, contohnya:
4 + 3 = 7
4 + 4 = 8
5 + 4 = 8
3 + 6 = 8
5. Kesulitan mengenal dan memahami simbol
Anak berkesulitan belajar matematika sering mengalami kesulitan dalam mengenal dan menggunakan simbol-simbol matematika seperti (+), (-), (X), (:), (=), (<), (>), gangguan ini dapat disebabkan oleh gangguan memori, dan oleh gangguan persepsi visual.
6. Gangguan penghayatan tubuh
Anak berkesulitan belajar matematika juga sering menunjukkan adanya gangguan penghayatan tubuh (body image), anak sulit memahami hubungan bagian-bagian dari tubuhnya sendiri, misalnya jika disuruh menggambar tubuh, maka tiadak ada yang utuh.
7. Kesulitan dalam membaca dan bahasa
Anak berkesulitan belajar matematika akan mengalami kesulitan dalam memecahkan soal-soal yang berbentuk cerita.
8. Skor PIQ jauh lebih rendah dari VIQ
Hasil tes inteligensi dengan menggunakan WISC (Weshler Intelligence Scale for Children) menunjukkan bahwa anak berkesulitan belajar matematika memiliki PIQ (Performance Intelligence Quotient) yang jauh lebih rendah daripada skor VIQ (Verbal Intelligence Quotient). Sub tes verbal mencakup: Informasi, persamaan, aritmetika, perbendaharaan kata, dan pemahaman. Sub tes kinerja mencakup: melengkapi gambar, menyusun gambar, menyusun balok, dan menyusun obyek.
Kesulitan Belajar Bahasa
Ganguan atau kesulitan berbahasa sering dikaitkan dengan penyakit yang menyebabkan terjadinya gangguan dalam berkomunikasi. Oleh karena itu, jika penguasaan bahasa mendapat gangguan, maka komunikasinyapun terganggu. Berikut ini dikemukakan istilah-istilah tersebut:
1. Aphasia.
Istilah ini digunakan untuk menggambarkan hilangnya kemampuan berbahasa seseorang karena adanya gangguan pada sistem syaraf pusat. Gangguan ini dapat disebabkan oleh cidera pada kulit otak yang terjadi karena kecelakaan, benturan yang keras, atau stroke. Gangguan ini bersifat multi dimensi, sehingga kemampuan menggunakan atau menguasai simbol seolaholah lenyap. Parahnya ketidakmampuan yang diakibatkan bergantung dari letak cidera atau luka, umur serta kondisi kesehatan ketika terjadinya cidera tersebut.
Aphasia banyak jenisnya, paling tidak dapat diklasifikasikan kedalam 4 jenis, yaitu:
- Aphasia Sensoris atau (aphasia reseptif, fluent aphasia, word deafness, wernickes aphasia). Yaitu mengalami kesulitan dalam memberi makna rangsangan yang diterimanya.
- Aphasia motoris atau (aphasia ekspresif, broca aphasia), yaitu mengalami kesulitan dalam mengkoordinasikan atau menyusun pikiran, perasaan dan kemauan menjadi symbol-simbol yang bermakna dan dimengerti oleh orang lain.
- Aphasia konduktif atau (dynamic aphasia, transcorticak sensory aphasia), yaitu megalami kesulitan dalam meniru pengulangan bunyi-bunyi bahasa.
- Aphasia Amnesic atau nominal aphasia atau anomia, yaitu kesulitan dalam memilih dan menggunakan symbol-simbol yang tepat (Tarmansyah, 1995., p. 94)
2. Dysarthria dan Apraxia.
Dysarthria muncul menyertai aphasia, yaitu berupa gangguan berbicara yang diakibatkan
oleh hilangnya kontrol otot-otot pada mekanisme berbicara (Owen, Jr., 1984). Kerusakan atau cidera pada sistem syaraf dapat berakibat pada terganggunya gerakan, baik dalam bentuk gerakan itu sendiri, kecepatannya, maupun irama gerakannya. Oleh karena itu dyarthria dapat muncul dalam bentuk penghilangan atau distrorsi (penyimpangan) bunyi, penghilangan bunyi, atau salah ucap yang terjadi secara permanen. Misalnya penderita dysrthria selalu menghilangkan bunyi pada awal, tengah, akhir kata. Misalnya: kata berangkat diucapkan angkat, meskipun diucapkan kipun atau mespun.
oleh hilangnya kontrol otot-otot pada mekanisme berbicara (Owen, Jr., 1984). Kerusakan atau cidera pada sistem syaraf dapat berakibat pada terganggunya gerakan, baik dalam bentuk gerakan itu sendiri, kecepatannya, maupun irama gerakannya. Oleh karena itu dyarthria dapat muncul dalam bentuk penghilangan atau distrorsi (penyimpangan) bunyi, penghilangan bunyi, atau salah ucap yang terjadi secara permanen. Misalnya penderita dysrthria selalu menghilangkan bunyi pada awal, tengah, akhir kata. Misalnya: kata berangkat diucapkan angkat, meskipun diucapkan kipun atau mespun.
Apraxia merupakan gangguan yang muncul dalam memilih dan memprogram pembicaraan. Karakteristik yang menonjol dalam gangguan ini antara lain tercermin dalam munculnya kesulitan untuk memulai pembicaraan, kesalahan pengucapan yang tidak konsisten, serta tampaknya gerakan meraba-raba atau mengubah sikap badan untuk ke sumber suara, walaupun apraxia dan dysarthria bukan merupakan gangguan lingusitik , tetapi keduanya dapat muncul bersama dengan munculnya gangguan linguistik seperti aphasia.
3. Dyslexia.
Gangguan ini berkaitan dengan hilangnya kemampuan untuk membaca. Gangguan ini terjadi karena tidak berfungsinya secara normal syaraf yang berhubungan atau yang mengatur kemampuan membaca. Dyslexia sering disebut sebagai ”word blindness” (kebutaan akan kata-kata) karena penderita seolah-olah tidak mengenal kata-kata yang dibacanya. Gangguan ini mencakup berbagai variasi dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda, dari yang paling ringan sampai yang paling parah. Hakikat dyslexia terletak pada kebingungan dan kesulitan yang dialami seseorang selama karena ia seolah-olah tidak mengenal bunyi, arti, ataupun ejaan dari kata yang dilihatnya (Ramma, S., 1993)
4. Dysgraphia.
Gangguan ini berkaitan dengan berkurangnya atau hilangnya kemampuan dalam menulis, sehingga tulisan yang dihasilkan sangat buruk dan hampir tidak dapat dibaca. Gangguan ini terjadi karena otot-otot serta syarafsyaraf yang berfungsi dalam mengendalikan gerakan halus (fine motor) terganggu atau tidak berfungsi
5. Gagap.
Gangguan ini merupakan gangguan dalam kelancaran dan irama berbicara yang dapat muncul dalam bentuk yang paling ringan sampai paling parah. Penderita gangguan ini biasanya susah menghasilkan atau memulai pengucapan bunyi, menulang-ngulang kata berkali-kali, memanjangkan kata, atau berhenti terlalu lama. Penderita gangguan ini kadang-kadang berkeringat,mengedipkan mata, kerutan wajah, dan gerakan kepala pada saat mengucapkan kata-kata, terlebih pada kata-kata pertama
6. Suara Sumbang atau Kelainan dalam Suara.
Volume, tempo, keras linak suara serta kualitas suara memegang peranan penting dalam berkomunikasi oral. Gangguan terjadi akibat ada kelainan pada alat-alat ucapnya, seperti: gigi geligi tidak lengkap, sumbing, pita suara putus satu, celah langit-langit dsb. Contohnya, orang yang mengalami celah langit-langit (clep palate) bicaranya sengau.
7. Salah pengucapan.
Gangguan ini sering muncul dalam dalam empat bentuk, yaitu: penghilangan penggantian, penyimpangan, serta penambahan bunyi. Misalnya: sekolah diucapkan sekola, buku diucapkan puku, Bandung diucapkan mbandung, gelas diucapkan gela
8. Disaudia. Yaitu kesulitan bicara yang disebabkan olehat gangguan pendengaran
9. Dislogia.
Yaitu kesulitan bicara yang disebabkan oleh kemampuan kapasitas berpikir atau taraf kecerdasan di bawah normal
10. Disglosia.
Kesulitan bicara yang disebabkan oleh kelainan bentuk struktur dari organ bicara yaitu artikulator, seperti: palatoskisis (celah pada palatum), celah bibir, maloklusi (salah temu gigi atas dan gigi bawah), anomali (penyimpangan dar nilai baku, seperti: bentuk lidah yang tebal, tidak tumbuh velum, tali lidah pendek),
11. Dislalia.
Kesulitan bicara yang disebabkan oleh faktor psikososial yang paling dominan disebabkan oleh faktor lingkungan dan gejala psikologis;
12. Afonia.
Kesulitan dalam memproduksi suara atau tidak dapat bersuara sama sekali. Kesulitan ini disebabkan adanya kelumpuhan pita suara.
13. Gangguan Suara.
Suara dihasilkan oleh pita suara yang diawali dengan keluarnya udara dari paru-paru, kemudian melalui pita suara menyentuh dinding resonansi, atau menggetarkan pita suara itu sendiri sehingga menimbulkan getaran udara. Getaran-getaran tersebut yang disebut sebagai getaran suara.
Sumber :
- http://inbe-olive.blogspot.com/2012/03/kesulitan-belajar-siswa-dan-bimbingan.html
- http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195707121984032-EHAN/KESULITAN_BELAJAR__MATEMATIKA.pdf
- http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195705101985031-ENDANG_RUSYANI/KESULITAN-BELAJAR_BAHASA.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar